Problem Hukum Eksekusi Tapak Kuda Kendari

Loade Muhamad Kadir, S.H.,M.H

Oleh: Loade Muhamad Kadir, S.H.,M.H*

PIKIRANLOKAL.COM, KENDARI – Menilik history Perkara perdata No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi yang saat ini sedang ramai diperbincangkan dalam berbagai pemberitaan media, perkara tersebut berawal dari sengketa keperdataan antara Koperasi Perikanan Perempangan Soananto (Kopperson) melawan Wongko Amirudin yang dimenangkan oleh Koperson dalam kedudukan/subjek sebagai badan hukum perdata, putusan mana inkracht pada pengadilan tingkat banding. Dasar pemilikan Kopperson sebagai badan hukum perdata dalam perkara a quo adalah HGU No.1 Tahun 1981 yang berlaku selama 25 Tahun, dan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan perpanjangan oleh pemegang hak in casu Koperson.

Perolehan SHGU

Dasar hukum perolehan Hak Guna Usaha/HGU secara formil diatur dalam ketentuan Uu No 5 Tahun 1960 Tentang UUPA Jo Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Dalam ketentuan Pasal 28 UUPA, HGU dimaknai sebagai hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu sebagaimana ketentuan Pasal 29 UUPA. Lebih lanjut ketentuan formil sebagai peraturan pelaksanaan mengenai HGU diatur dalam PP No 40 Tahun 1996 yang kemudian telah diganti melalui PP No 18 Tahun 2021. Berkait dengan masa berlaku HGU secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 29 angka (1) UUPA yakni 25 tahun, yang dapat diperpanjang atas permintaan pemegang hak dengan waktu paling lama 25 Tahun (Pasal 29 Ayat 1).

Sedangkan berkait dengan subjek hukum pemegang SHGU adalah warga negara Indonesia serta badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 Ayat (1) UUPA. UUPA juga telah mengatur mengenai hapusnya Hak Guna Usaha yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 34 salah satunya adalah jangka waktu GHU berakhir (Pasal 34 huruf a).

Polemik Ekseskusi Putusan Perkara No 48/Pdt.G/1993.PN.KDi

Secara umum menurut penulis, tujuan berperkara bagi para pihak (Justiciabelen) tidak lain adalah sebagai sarana formal untuk menyelesaikan problem hukum yang sedang terjadi antara para pihak secara keperdataan yang berujung pada putusan pengadilan sebagai hasil akhir dari sebuah perselisihan. Dilain sisi kendatipun perkara a quotelah mendapatkan putusan akhir/inkracht van gewijsde/res judicata, agar putusan tidak diangap sia-sia maka putusan inkracht tersebut dilakukan eksekusi dengan mengacu pada ketentuan hukum acara sebagai procedural formil, dengan ketentuan, putusan tersebut memuat amar condemnatoir. Mencermati amar putusan perkara No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi terdapat amar yang bersifat condemnatoir oleh karenanya putusan a quo dapat dilakukan ekesekusi atas objek sengketa sepanjang memenuhi syarat sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku.

Polemik muncul kemudian, Ketika dasar penguasaan atas objek eksekusi yakni SHGU ternyata telah berakhir sejak tahun 1999 tanpa dilakukan perpanjangan tanpa dilakukan perpanjangan, letak objek sengketa eksekusi tidak dapat ditentukan secara pasti, pemohon eksekusi yang bertindak atas nama Koperson selaku badan hukum perdata dipertanyakan legalitasnya saat pengajuan eksekusi.

Problem Hukum Pelaksanaan Eksekusi putusan No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi

Eksekusi merupakan suatu rangkaian proses berperkara yang pelaksanaanya berpedoman pada aturan perundang-undangan dalam HIR (herzien inlandsch reglement) atau RBG (rechtreglement voor de buitengewesten) sebagai procedural formil pelaksanaan eksekusi. Terhadap pelaksanaan putusan perkara dalam tulisan ini, berlaku ketentuan hukum acara rechtreglement voor de buitengewesten oleh karena letak objek eksekusi berada diluar wilayah Jawa dan Madura “Reglement tot regeling van het rechtwezen in de gewesten buiten Java en Madura”.

Diawal, penulis terlebih dahulu menegaskan bahwa putusan adalah mahkota bagi para hakim” , namun demikian pelaksanaan putusan tidak boleh melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktek berhukum sejatinya tidak boleh terlepas dari tujuan hukum itu sendiri yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan an sich pelaksanaan putusan pengadilan. Sebagaimana postulat “Keadilan tidak boleh ditegakkan dengan cara-cara yang melanggar hukum”.

Dalam praktek peradilan, acapkali terjadi pelaksanaan putusan tidak dilakukan secara sukarela, sehingga mengharuskan pihak pemenang mengajukan permohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan, sebagaimana terjadi pada putusan No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi yang saat ini sedang ramai diperbincangkan khalayak masyarakat Kota Kendari. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengkonstatir dalam beberapa legal issue dibawah ini.

Secara normatif pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohon eksekusi putusan tersebut adalah Kopperson yang diwakili oleh pengurus yang sah sebagaimana termuat dalam akte pendirian badan hukum, hal tersebut akan jelas terbaca dalam putusan perkara siapa yang bertindak atas nama Koperson. Menurut penulis, Hal ini penting untuk ditelusuri secara cermat dan teliti sebab secara normatif pengajuan permohonan eksekusi hanya dapat dilakukan oleh orang yang berwenang untuk itu, jika tidak maka akan berkonsekuensi permohonan cacat secara formil. 

Selain legal standing pemohon sebagai subjek hukum, hal penting yang perlu diperhatikan secara hati-hati oleh pengadilan adalah kepastian letak batas objek eksekusi. Terhadap rencana eksekusi lahan tapak kuda, penulis menduga adanya ketidak pastian atau ketidak jelasan objek eksekusi, hal tersebut terlihat dibeberapa pemberitaan media online yang menyatakan adanya surat pemberitahuan pelaksanaan konstatering objek sengketa. Konstatering dalam pelaksanaan eksekusi tanah adalah upaya untuk mengetahui secara pasti apakah jelas atau tidak batas tanah yang hendak dieksekusi, namun dalam perkara a quo tantangan berat bagi pengadilan adalah menghadirkan para pihak (Penggugat dan Tergugat) mengingat perkara ini sejak tahun 1993 puluhan tahun yang lalu sebab bisa saja para pihak sudah tidak berada ditempat atau telah meninggal dunia, lalu siapa yang akan menunjuk letak dan batas objek sengketa jika bukan pihak yang berperkara ???.

Pengadilan mungkin dapat saja menghadirkan Badan Pertanahan selaku instasi terkait, namun menurut penulis pihak-pihak yang terlibat khusus dalam penunjukan letak batas objek sengketa haruslah mengacu pada putusan yakni pihak dalam perkara a quo yakni Penggugat dan Tergugat agar letak batas objek sengketa terfalidasi secara langsung melalui para pihak sedangkan kehadiran Badan Pertanahan tidak lain untuk memetakan letak batas yang ditunjuk oleh para pihak.

SHGU yang menjadi dasar penguasaan objek eksekusi telah berakhir sejak tahun 1999 tanpa dilakukan perpanjangan oleh pemegang hak dalam hal ini Koperson (Pemohon eksekusi dalam perkara No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi). Konsekuensi yuridis dengan berakhir dan tidak diperpanjanganya SHGU oleh pemegang hak adalah hak guna usaha hapus sebagaimana ketentuan norma Pasal 34 huruf a UUPA. Lebih lanjut apabila status bekas tanah SHGU adalah tanah negara maka setelah berakhirnya masa berlaku SHGU, tanah tersebut menjadi tanah negara. Sejatinya UUPA telah memberikan hak istimewa kepada pemegang SHGU dalam hal untuk memperpanjang keberlakuan HGU, akan tetapi dalam kasus ini pemegang hak tidak mengajukan perpanjangan karenanya menurut pandangan penulis dengan tidak dilakukanya perpanjangan tersebut, haruslah dimaknai bahwa pemegang SHGU telah melepaskan haknya sebagaimana hak keistimewaan yang diberikan oleh UUPA. Selain itu menurut penulis, Badan Pertanahan sebagai lembaga berwenang harus secara tegas menyatakan SHGU yang dimaksud telah berakhir dan tidak pernah dilakukan perpanjangan agar carut marut isu mengenai status HGU a quotidak menjadi bola liar yang tidak berkepastian arah.

Sebagaimana legal issue diatas, menurut hemat penulis dalam linteratur ilmu hukum, ada beberapa dasar, alasan dan fakta hukum yang menjadi dasar untuk menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan (non eksekutabel) yang diantaranya adalah putusan bersifat deklaratoir, barang objek eksekusi ditangan pihak ketiga, eksekusi terhadap penyewa, tanah yang hendak di eksekusi tidak jelas batas-batasnya, perubahan status tanah menjadi milik negara, dua putusan yang saling berbeda (disparitas).

Mencuatnya isu ketidak pastian hukum, isu ketidak adilan atas status tanah objek sengketa yang digaungkan oleh ribuan masyarakat yang menempati eks SHGU Koperson dalam perkara Koperson vs Wongko Amirudin harus mampu diakhiri oleh Pengadilan selaku lembaga berwenang yang bertindak atas nama hukum dan negara. Pengadilan harus mampu mengakhiri bola panas atas kasus a quo, sebab jika tidak maka akan berseliweran beragam isu, misalkan isu terkait adanya dugaan mafia tanah dan sebagainya yang saat ini telah menjadi sajian hangat dalam beberapa pemberitaan media. Berkait ini, penulis meminjam tulisan Prof Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Paul Schloten “hukum itu menyimpan kekuatan pendobrak (exspansiekracht) untuk keluar dari kemandekan, “hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme) namun terus bergerak, berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan”.!!!

Demikian bersarnya dampak eksekusi yang rencana akan dilakukan, penulis berharap agar pihak berwenang menggunakan pesan filosofi the blindfolded statue ala Jepang dalam menyelesaikan itu, bukan dengan pendekatan filosofis the blindfolded statue yang diadopsi dari Barat dengan Mata tertutup. Sebagaimana Prof Achmad Ali dalam tulisan perbincanganya dengan Hakim Agung Jepang (saiko saibansho hanji)Filosofi apa yang terkandung dibalik “mata tertutup” dan “mata tidak tertutup” itu? Hakim Agung Jepang menjelaskan bahwa “Dewi Keadilan Barat” yang tertutup matanya, dimaksudkan bahwa penegakan hukum dalam paradigma Barat, semata-mata hanya bertujuan untuk menerapkan undang-undang belaka, dan “matanya harus ditutup” untuk segala sesuatu diluar undang-undang tersebut. Mata harus ditutup dari pengaruh moralitas, agama, adat istiadat, kultur, dan sebagainya. Sebaliknya, “mata penegak hukum Timur” seyogyanya tidak tertutup untuk mampu menyaksikan dan menyerap “rasa keadilan masyarakat”, mampu menyerap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, mampu menyerap tuntutan dan aspirasi masyarakat”.

Eksekusi lahan Tapak Kuda, Untuk melindungi kepentingan hukum siapa ??? 

Sebagaimana penulis uraiakan dalam salah satu legal issue diatas bahwa SHGU yang menjadi dasar penguasaan objek eksekusi telah berakhir sejak tahun 1999, atas dasar itu tentu beralasan jika publik an sich para Justiciabelen tenggelam dalam tanya, jika Pengadilan memaksakan kehendak eksekusi maka sejatinya pengadilan sedang melindungi hak hukum siapa ??? bukankah dengan berakhirnya masa berlaku SHGU maka telah hilang pula hak penguasaanya???. pertanyaan-pertanyaan public demikian tidak dapat dihindari ditengah banyaknya sorotan publik terhadap kinerja-kinerja pemerintah saat ini.

Penutup

Legal standing pemohon eksekusi secara formil, ketidakpastian atau ketidakjelasan letak serta batas-batas objek eksekusi dan SHGU yang menjadi dasar penguasaan objek eksekusi telah berakhir sejak tahun 1999 tanpa dilakukan perpanjangan oleh pemegang hak dalam hal ini Koperson (Pemohon eksekusi dalam perkara No 48/Pdt.G/1993.PN.Kdi), dapat dijadikan rujukan dan/atau batu uji oleh lembaga berwenang untuk menyatakan eksekusi dapat dilakukan dan/atau eksekusi non eksekutabel.

*Penulis adalah Praktisi Hukum Sulawesi Tenggara/Pengacara dan Alumni Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
error: Content is protected !!