Saling Klaim Siapa Berjasa, Kita Malu Sama Kades Lindo

Karikatur: Deretan tokoh berebut panggung. Klaim bersahut, kerja sunyi terlupa.

Oleh: Muhammad Akbar Ali (Penikmat Buku, Menulis dan Diskusi)

PIKIRANLOKAL.COM, KENDARI-Sulawesi Tenggara riuh. Di warung kopi, di grup WhatsApp, di podium-podium politik, semuanya bicara tentang siapa yang paling berjasa. Siapa yang paling hebat. Siapa yang patut disebut bapak ide, bapak pembangunan, bapak segala bapak.

Proyek Jembatan Muna-Buton, yang konon akan menelan Rp6 triliun, jadi bahan rebutan panggung. Padahal, jembatan itu belum berdiri. Bayangannya pun belum nampak. Pondasi belum menyentuh tanah. Tetapi lisan kita sudah jadi jembatan panjang yang tak berujung.

Sementara itu, di ujung lain Muna Barat, ada seorang Kepala Desa yang tidak pernah ikut bicara siapa paling berjasa. Namanya Armaya. Ia tidak punya panggung. Tidak punya mikrofon emas. Tidak punya ruangan ber-AC untuk konferensi pers. Yang ia punya hanyalah suasana kampung yang teduh, desa berkembang, dan sepasang mata yang jernih membaca peluang.

Kepemimpinan Itu Bukan Klaim, Tapi Ide

Orang bilang, pemimpin itu sukses kalau mampu membangun gedung tinggi, menembuskan jalan tol, atau meresmikan jembatan raksasa. Tapi benarkah hanya itu? Bagiku, ukuran keberhasilan pemimpin itu satu, inovasi yang menjawab masalah.

Kalau ada kemiskinan, apa gagasannya? Kalau anggaran cekak, apa terobosannya? Kalau rakyat susah mencari makan atau jalan rusak, apa solusinya? Itu baru ngeri. Itu baru pemimpin.

Dan Kades Lindo Armaya membuktikan itu.

Pada 26 Oktober 2021, ia memandang desanya. Lindo hanyalah desa kecil di Kecamatan Wadaga. Tapi berada di jalan penghubung antar desa. Lalu ia bertanya dalam hati “Kenapa jalan yang ramai ini tidak kita hidupkan?” Dari sanalah lahir pasar kuliner sore, berbasis pangan lokal, melibatkan ibu-ibu desa.

Foto: Suasana pasar Kuliner Desa Lindo, Kecamatan Wadaga, Kabupaten Muna Barat.

Di lapak-lapak sederhana itu, kabuto, kambuse, katumbu, kambewe, kasoami, kadada katembe, kaparende, tunuha, cucur, lapa-lapa, kasoso dan puluhan kuliner Muna lainnya hadir. Bukan sekadar makanan, tapi napas hidup. Dari jam lima sore sampai jam sepuluh malam. Desa Lindo mendadak jadi pusat pertemuan. Ide kecil itu membuat ekonomi berputar, tawa kian segar terdengar, dan harapan menjadi sesuatu yang bisa dicicipi.

Dan apa yang terjadi setelah itu? Pasar kuliner menjamur di desa-desa lain. Menjadi inspirasi. Tapi apakah Armaya datang lalu berkata: “Lihat, semua karena aku”? Tidak. Dia justru senang idenya jadi teladan. Ia diam. Ia bekerja. Tidak ada klaim.

Lihatlah, betapa rendah hatinya seorang pemimpin yang benar-benar bekerja.

Foto: Kepala Desa Armaya, (Kiri), bersama pedagang di pasar Kuliner Desa Lindo, Muna Barat.

Sementara kita? Kita sibuk berdebat siapa paling berjasa untuk sesuatu yang bahkan bayangannya-pun belum nampak. Kita sibuk memamerkan foto seremoni, seakan niat sudah cukup menjadi prestasi.

Padahal kepemimpinan bukan tentang siapa dulu berfoto di depan spanduk proyek. Bukan tentang siapa yang paling keras bicara di mimbar. Kepemimpinan adalah keberanian berinovasi di tengah keterbatasan.

Banyak orang bisa bekerja kalau anggaran melimpah. Tinggal programkan, laksanakan, selesai. Itu hal biasa. Tapi yang langka adalah mereka yang mampu mencari jalan keluar saat uang tidak ada. Yang berpikir melampaui kebiasaan.

Armaya sudah melakukannya. Sementara kita, yang katanya lebih hebat, malah sibuk memperebutkan panggung.

Jadi, di tengah hiruk pikuk klaim jembatan itu, tidakkah kita malu pada Kades Lindo?

2 thoughts on “Saling Klaim Siapa Berjasa, Kita Malu Sama Kades Lindo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
error: Content is protected !!