Akademisi Unsultra Muhram Naadu, Edukasi Dimensi Teknologi AI

Foto: Laode Muhram Naadu, (Depan, ketiga dari kiri), saat memaparkan materi tentang kecerdasan buatan di hadapan mahasiswa dan pelajar, Rabu (16/7/2025).

PIKIRANLOKAL.COM, KENDARI—Di salah satu sudut kota yang tumbuh bersama denyut zaman, sebuah ruang diskusi dibuka, Rabu (16/7/2025. Bukan ruang sembarang, tapi ruang tempat kata-kata bersenandung dan pikiran-pikiran berpadu dalam harmoni. Fokusnya adalah masa depan, menerka dimensi teknologi. Dan sang pengantar narasi adalah Laode Muhram Naadu, akademisi Universitas Sulawesi Tenggara yang juga dikenal sebagai Ketua KNPI Kabupaten Muna.

Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Direktorat Intelkam Polda Sulawesi Tenggara itu menjadi panggung kontemplatif. Bertema “Dampak Positif dan Negatif Artificial Intelligence bagi Masyarakat, Khususnya Pengguna Media Sosial”, forum ini mempertemukan pemuda-pemudi dari berbagai penjuru Kota Kendari, baik mahasiswa maupun pelajar. Di sanalah suara generasi muda didengar, dan kata-kata bijak menjadi cahaya yang menuntun.

Muhram hadir tak sekadar sebagai pemapar, namun sebagai penutur zaman yang menyadari bahwa kecerdasan buatan (AI) bukan hanya soal algoritma, tapi juga tentang manusia. Dengan tajuk “Kecerdasan Buatan, Media Sosial dan Generasi Muda”. Ia menaburkan pemahaman yang luas, namun dengan bahasa yang membumi.

“AI adalah pedang bermata dua,” ucap Muhram tenang namun dalam.

Teknologi AI, kata Muhram, membuka peluang kemudahan. Seperti mempercepat pekerjaan, memperluas akses pendidikan, hingga menembus batas pelayanan kesehatan. Tapi di sisi lain, ia juga membawa bayangan ancaman terhadap privasi, manipulasi kebenaran, hingga alienasi manusia dari kemanusiaannya sendiri.

Muhram tak hanya membedah, ia juga mengingatkan. Teknologi, sehebat apapun ia dibentuk, harus selalu berada di bawah kendali etika. Ia mengajak masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk bersatu menjaga arah peradaban digital.

“AI adalah anak kemajuan zaman. Tapi kita, manusialah yang harus menjadi orangtuanya. Mengarahkan, membimbing, dan membatasi,” ujar Muhram.

Suasana forum terasa seperti halaman buku yang perlahan dibuka. Para peserta tak hanya menyimak, mereka juga bertanya, berbagi, bahkan merenung.

Salah satunya adalah Rojab, mahasiswa dari Unsultra, yang menyambut hangat kegiatan ini. Baginya, forum ini seperti cermin, memperlihatkan terang dan gelap di balik layar teknologi yang selama ini mereka genggam setiap hari.

“AI ibarat pisau tajam. Jika tidak dikendalikan, bisa melukai kita sendiri. Masyarakat butuh regulasi yang bukan hanya tegas, tapi lahir dari nilai-nilai kemanusiaan,” ucap Rojab.

Diskusi hari itu bukan hanya pertemuan pikiran. Ia menjadi sajak, yang menuliskan kekhawatiran dan harapan di tengah arus digital yang makin deras. AI memang terus berkembang, tapi manusia tetap harus menjadi nahkoda.

Dari ruang edukasi di tengah kota Kendari itu, lahirlah suara-suara baru. Suara yang tak sekadar ingin memahami teknologi, tapi juga merawat martabat manusia di dalamnya. Karena di balik setiap baris kode dan jaringan saraf buatan, selalu ada pilihan. Menjadi budak zaman, atau penjaga peradaban. (ali).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
error: Content is protected !!