PIKIRANLOKAL.COM, MUNA BARAT—Di tengah lekuk alam Sulawesi Tenggara, yang diselimuti udara bersih, dan langit yang tak pernah benar-benar meninggalkan warna birunya, berdirilah Desa Lindo. Sebuah kampung kecil di Kecamatan Wadaga, Kabupaten Muna Barat. Yang nyaris tak terdengar gaungnya di keriuhan kota, namun memiliki satu kekayaan yang membuatnya besar dalam keheningan. Kambuse.
Bukan kemewahan rasa yang menjadi daya tarik utama, melainkan kesetiaan pada tanah, pada tradisi, dan pada identitas. Di desa ini, kambuse bukan sekadar makanan—ia adalah simbol perlawanan terhadap menipisnya identitas pangan lokal.
Adalah La Ode Taimin, seorang petani sederhana yang dalam diamnya menyimpan filosofi panjang tentang hidup yang tidak menumpuk, tetapi cukup.
Siang hari yang sedikit berawan, Minggu 13 Juli 2025, di kebun kecilnya yang ditumbuhi pohon pisang, jagung, dan bayam liar, Taimin mengakhiri aktivitasnya dengan cara yang tak megah, namun indah. Makan bersama keluarga.
Di atas nampan anyaman daun lontar, tersaji kambuse, jagung hasil gilingan tangan yang ditemani sayur katembe bening, pepaya rebus, dan ikan Kaondo—ikan asin yang digoreng kering, hingga harum gurihnya menyatu dengan udara. Hidangan itu tidak berteriak kemewahan, tetapi bergema nilai.

Ada kedamaian yang hanya bisa dirasakan ketika perut kenyang oleh hasil bumi sendiri. Ada rasa syukur yang tumbuh dari peluh yang menetes di ladang, bukan dari belanja di rak-rak swalayan. Makanan lokal mereka bukan nostalgia, tapi napas yang masih hidup dan berdenyut di setiap rumah.
Kambuse bukanlah sembarang makanan biasa. Ia adalah warisan rasa yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat suku Muna. Dengan tekstur keras dan aroma khas jagung muda maupun tua, kambuse adalah pelajaran tentang ketekunan, tentang bagaimana masyarakat Lindo menolak lupa di tengah modernitas yang menawarkan segala bentuk instan.
Kambuse kagili, hasil dari jagung yang digiling manual, adalah bentuk penghormatan terhadap tangan, bukan mesin.
Kepala Desa Lindo, Armaya, bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga penjaga warisan. Di tangan dinginnya, lahirlah pasar sore yang tidak sekadar menjadi pusat jual beli, melainkan panggung pertunjukan rasa dan identitas.

Di bawah kesederhanaan atap putih, deretan pangan lokal tersaji: parende ikan laut, katumbu, sayur katembe, kabuto, dan tentu saja kambuse. Pasar sore itu kini menjadi inspirasi desa-desa lain, bukan karena gemerlapnya, tetapi karena ketulusannya mempertahankan jati diri.
Armaya tidak hanya membuat pasar. Ia menyulam kembali hubungan antara pangan dan masyarakat, menjembatani generasi tua dan muda agar rasa tidak terputus dari cerita.
Di tengah gempuran globalisasi dan budaya makanan cepat saji, Desa Lindo adalah oase yang menolak larut. Ia tidak menolak kemajuan, tapi memilih maju dengan akar yang tertanam kuat. Dalam setiap sendok kambuse yang masuk ke mulut anak-anak kecil Desa Lindo, terkandung pula pelajaran bahwa pangan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi jalinan budaya, sejarah, dan cinta.

Desa Lindo mengajarkan kita bahwa masa depan tidak selalu harus dibangun dengan meninggalkan masa lalu. Kadang, yang paling kita butuhkan adalah menyentuh kembali tanah, tempat di mana jagung tumbuh, ikan dikeringkan di bawah matahari, dan sayur direbus tanpa banyak bumbu. Di sana, di balik kesederhanaannya, hidup rasa yang tak bisa dibeli: rasa memiliki.
Dan di tengah dunia yang semakin asing dengan pangan lokal, Desa Lindo adalah harapan juga doa yang terus diucap dalam bahasa rasa.
Kambuse Menyehatkan
Kambuse bukan sekadar pangan, ia adalah penjaga pertumbuhan manusia. Di balik butir jagung yang lembut atau sedikit keras itu, tersembunyi karbohidrat alami, serat, vitamin A dan B, serta mineral penting seperti zat besi dan magnesium. Gizi yang bekerja dalam diam: membangun tulang, memperkuat otot, dan memberi energi.
Bagi masyarakat Lindo, kambuse adalah bentuk cinta alam yang diolah menjadi kekuatan. Disajikan dengan sayur katembe, pepaya rebus, atau ikan Kaondo, ia menjadi perjamuan sederhana yang menumbuhkan generasi sehat dan tangguh.
Dari ladang yang bersahaja ke meja makan keluarga, kambuse adalah pengingat: bahwa hidup sehat tak harus datang dari kota atau kemasan—cukup dari tanah sendiri, tangan sendiri, dan kearifan yang tak pernah mati.
Dari Desa Lindo untuk Indonesia
Indonesia hari ini membutuhkan lebih banyak seperti Desa Lindo. Negara ini tak kekurangan lahan, tak kekurangan petani, tak kekurangan budaya. Yang sering hilang adalah keberanian untuk menjaga yang sudah ada. Kita terlalu sibuk mengejar yang jauh, padahal yang dekat lebih dari cukup. Kambuse bisa jadi simbol nasional—tentang pangan yang ramah lingkungan, bergizi tinggi, dan mengakar kuat dalam budaya.
Melestarikan kambuse bukan sekadar mempertahankan satu jenis makanan, melainkan menyelamatkan cara pandang terhadap pangan itu sendiri. Ini adalah tentang kedaulatan. Tentang martabat. Tentang bagaimana bangsa yang besar seharusnya menghargai apa yang tumbuh dari tanahnya sendiri.

Maka, jika suatu hari kelak kita bicara tentang ketahanan pangan nasional, ingatlah Desa Lindo. Ingat La Ode Taimin yang mengolah kebun dan menyajikan kambuse tanpa banyak drama. Ingat Armaya yang menghadirkan pasar sore, bukan demi keuntungan semata, tapi demi masa depan yang tidak tercerabut dari akarnya.
Karena dari Desa Lindo, kampung kecil yang bersahaja itu, kita belajar satu hal penting: bahwa menjaga makanan lokal adalah menjaga jati diri bangsa.
Penulis: Muhammad Akbar Ali (Penikmat Kambuse)