Oleh: Ali Mochtar Ngabalin*
Bayangkan seorang pria dengan wajah keras namun mata yang penuh perhitungan, bukan sekadar tatapan sangar militer, melainkan pandangan seorang strategis yang sudah lama mengamati permainan global dari pinggir lapangan. Kini, ia duduk berhadapan dengan Vladimir Putin di jantung St. Petersburg, bukan sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pemain yang siap memainkan papan catur dunia.
“Siri’ na pacce”—begitu orang Bugis-Makassar menyebutnya. Harga diri dan solidaritas. Ketika Prabowo Subianto melangkah ke forum ekonomi internasional terbesar Rusia, yang ia bawa bukan hanya nama Indonesia. Ia membawa amarah halus seorang bangsa yang terlalu lama diperlakukan sebagai pasar empuk, bukan mitra yang setara. Kali ini berbeda. Indonesia hadir bukan untuk mendengarkan ceramah, tetapi untuk bicara dengan suara lantang tentang masa depan yang dikehendaki oleh Indonesia.
Putin tidak sembarangan mengundang. Di tengah dunia yang sedang bertarung saling sikut—Amerika dengan blok NATO-nya, Tiongkok dengan Belt and Road-nya, Eropa dengan proteksionisme barunya—kehadiran Presiden Indonesia di St. Petersburg mengirim sinyal kuat: ada kekuatan baru yang sedang bangkit dari Nusantara. Dan kekuatan itu punya nama: Nusantara. Prabowo memang bukan sekadar jenderal yang bicara tentang pertahanan, melainkan negarawan yang memahami bahwa perang masa depan adalah ekonomi, teknologi, dan kedaulatan sumber daya.
Lihatlah bagaimana Prabowo bergerak—tidak tergesa, tidak jumawa, tetapi penuh kalkulasi. Ia datang ke Rusia membawa daftar belanja yang sangat spesifik: kerja sama teknologi nuklir dengan Rosatom untuk PLTN masa depan Indonesia, finalisasi Free Trade Agreement dengan Eurasian Economic Union yang bakal membuka akses pasar 180 juta konsumen, dan—yang paling penting—transfer teknologi yang selama ini hanya mimpi di siang bolong bagi negara-negara berkembang. Prabowo tidak datang untuk berfoto dan berjabat tangan. Ia datang untuk berbisnis dengan skala kebangsaan.
Dan ini bukan kebetulan. Prabowo tumbuh dalam keluarga yang nafasnya adalah ekonomi strategis. Ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, adalah arsitek ekonomi Indonesia yang merancang fondasi pembangunan dari zaman Orde Lama dan Orde Baru. Hashim, adiknya, kini menggerakkan roda investasi swasta dengan jejaring yang membentang dari Asia hingga Timur Tengah. Prabowo sendiri pernah memimpin perusahaan-perusahaan strategis, mengelola tambang, energi, dan komoditas dengan mata seorang pelaku pasar sejati—bukan politisi yang bermimpi di awang-awang.
Ketika ia bicara tentang hilirisasi CPO, pembangunan PLTN, atau ekspor bernilai tambah tinggi, itu bukan retorika kampanye. Itu adalah bahasa seorang pebisnis yang paham betul medan pertempuran ekonomi global. Prabowo tahu bahwa Indonesia sudah terlalu lama menjadi eksportir bahan mentah dan importir barang jadi—sebuah pola penjajahan yang harus diputus dengan keberanian dan strategi jangka panjang. Padahal Indonesia itu kaya dengan SDA murninya. Ironis bukan?
Di balik kepemimpinan Presiden Prabowo, publik juga bisa menyaksikan konfigurasi kabinet yang tak biasa—diisi oleh figur-figur yang tidak mudah dibeli dan tidak bisa ditawar ketika menyangkut prinsip hilirisasi dan kedaulatan ekonomi. Di antara mereka, ada Menteri kecil hitam manis asal Papua, Bahlil Lahadalia, yang tidak hanya lihai dalam diplomasi investasi, tapi juga kukuh menjaga kebijakan hilirisasi nikel dan mineral strategis lainnya.
Ia bukan elite konvensional, tapi mantan sopir angkot, anak pasar tradisional, dan eks Ketua Umum HIPMI yang tahu betul aroma keringat pengusaha kecil. Di bawah Prabowo, Bahlil tidak menjadi simbol tokenistik, melainkan aktor penting dalam mengunci arah ekonomi nasional dari ancaman intervensi asing.
Di belakang panggung, Sri Mulyani Indrawati bekerja keras menyiapkan infrastruktur finansial untuk menopang visi ambisius ini. Sebagai Menteri Keuangan yang sudah teruji, Sri Mulyani memahami bahwa diplomasi ekonomi Prabowo butuh pondasi fiskal yang kokoh—APBN yang sehat, insentif yang tepat sasaran, dan mekanisme pembiayaan yang tidak membebani generasi mendatang. Kolaborasi antara visi Prabowo dan eksekusi Sri Mulyani adalah kombinasi yang menakutkan bagi mereka yang terbiasa melihat Indonesia sebagai negara yang mudah diatur.
“Alam takambang jadi guru,” begitu petuah Minangkabau mengajarkan. Prabowo membaca alam zaman dengan tajam: blok ekonomi BRICS sedang menguat, proteksionisme Barat meningkat drastis, dan ancaman konflik terbuka mengintai di berbagai belahan dunia. Di tengah kekacauan ini, Indonesia bisa memilih: menjadi korban yang pasrah mengikuti arus, atau menjadi dalang yang merancang skenario baru. Prabowo memilih opsi kedua dengan segala risikonya.
Dukungan politik domestik mengalir deras. Mukhamad Misbakhun dari Komisi XI DPR menggambarkan kunjungan ini sebagai terobosan diplomasi ekonomi yang akan langsung dirasakan rakyat—bukan sekadar pencitraan politik kosong. Farah Puteri Nahlia dari Komisi I menegaskan bahwa Indonesia harus berperan sebagai aktor utama, bukan penonton yang gelisah di pinggir lapangan. Sementara Maruarar Sirait menyebut undangan Putin sebagai pengakuan dunia terhadap kredibilitas Prabowo—sosok yang bicara dengan otoritas, bukan omong kosong.
Kementerian Luar Negeri bekerja seperti mesin yang diminyaki dengan baik. Dubes Indonesia untuk Rusia dan seluruh tim ekonomi bekerja siang malam memastikan setiap detail teknis berjalan mulus—dari protokol bilateral hingga negosiasi forum multilateral. Ini bukan diplomasi amatir yang mengandalkan keberuntungan, melainkan profesionalisme tingkat tinggi yang didukung data dan analisis mendalam.
Angka-angka tidak berbohong. Perdagangan Indonesia-Rusia saat ini baru mencapai USD 4,5 miliar per tahun—masih jauh dari potensi sesungguhnya. Tetapi tren peningkatan sudah terlihat jelas, dan dengan keanggotaan penuh Indonesia di BRICS serta perjanjian dengan EAEU, proyeksi ke depan sangat menjanjikan. Yang lebih penting, ini adalah strategi diversifikasi ekonomi yang cerdas—mengurangi ketergantungan berlebihan pada satu atau dua mitra dagang, dan menciptakan opsi-opsi baru yang memberikan leverage politik yang lebih besar.
“Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”—filosofi Jawa yang mengajarkan tentang kemenangan tanpa kekerasan dan dominasi tanpa arogansi. Prabowo menjalankan diplomasi dengan prinsip ini: tidak datang dengan tangan kosong meminta-minta bantuan, tetapi menawarkan kemitraan yang saling menguntungkan. Ia membawa narasi baru bahwa Indonesia adalah kekuatan ekonomi yang bangkit, siap menentukan sendiri arah dan kecepatannya dalam percaturan global yang semakin brutal.
Untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir, kita menyaksikan seorang pemimpin Indonesia yang benar-benar memahami bahwa kekuatan sebuah negara di abad ke-21 tidak lagi ditentukan oleh jumlah tank atau pesawat tempur, melainkan oleh neraca perdagangan, posisi dalam rantai nilai global, dan kemampuan menguasai teknologi masa depan. Prabowo tidak bermain-main dengan sandiwara diplomasi konvensional. Ia sedang menulis ulang playbook Indonesia di panggung internasional dengan tinta keberanian dan akal sehat yang sudah terlalu lama terpendam.
Sejarah akan mencatat bahwa di tengah ketidakpastian global yang mencekam, Indonesia memiliki pemimpin yang berani melawan arus konservatisme dan ketergantungan. Prabowo Subianto, dengan diplomasi ekonominya yang tajam dan terukur, sedang menyiapkan fondasi bagi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi regional yang berdaulat dan mandiri.
Dan mungkin, hanya mungkin, generasi mendatang akan berterima kasih karena di era yang penuh gejolak ini, mereka memiliki pemimpin yang tidak takut bermimpi besar—dan lebih penting lagi, tidak takut mewujudkannya.
*Penulis adalah Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan dan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional